TANJUNG SELOR, Koran Kaltara – Pengusaha percetakan dan fotokopi di Tanjung Selor berinisial AM (45), menjadi korban pengeroyokan beberapa waktu lalu, menyampaikan kekecewaannya terhadap tuntutan Jaksa dan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Selor terhadap pelaku.
Informasi dihimpun, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dan vonis putusan Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Selor, cukup kontroversial. Hakim memutus hukuman 1 bulan 10 hari terhadap terdakwa S dan N. Sebelumnya, JPU menuntut hukuman 1 bulan 15 hari, atau berkurang 5 hari dari tuntutan JPU.
Padahal, dalam putusannya, seperti disampaikan oleh Penasehat Hukum (PH) AM, Padly, pelaku penganiayaan dan pengeroyokan berinisial S dan N, disebutkan terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penganiayaan dan pengeroyokan terhadap korban AM di rumahnya.
Pasal yang dikenakan dalam dakwaan, yakni Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan dan pasal 370 KUHP, tentang pengeroyokan. Di mana ancaman hukuman maksimal 2 – 5 tahun.
Sementara oleh JPU hanya menuntut hukuman pidana 1 bulan 15 hari atau 45 hari. Adapun oleh majelis hakim PN Tanjung Selor, kedua pelaku hanya divonis 1 bulan 10 hari.
Penasehat Hukum korban Padly SH, memberi reaksi atas tuntutan JPU dan putusan hakim tersebut. Ia mengaku berdasarkan alat bukti dan keterangan saksi serta hasil visum yang dikeluarkan Biddokkes Polda Kaltara, ia meyakini dan berekspektasi tinggi terhadap perkara tersebut.
“Ekspektasi kita sangat tinggi terhadap perkara ini, jelas melanggar pasal 351, Juncto pasal 170 dan penyertaan pasal 55. Kejadian ini salah satu bentuk aksi premanisme, di mana dalam menyelesaikan permasalahan tidak sesuai hukum dengan mengakibatkan luka dan trauma terhadap korban dan keluarganya,” ungkap Padly kepada awak media, Sabtu (30/11).
Ia sangat prihatin terhadap tuntutan JPU yang dinilai sangat ringan. Mengingat penganiayaan dan pengeroyokan yang dilakukan pelaku berdampak luas terhadap korban dan keluarganya.
“Saya tidak menganulir seperti apa tuntutan ini, karena tidak memiliki indikasi maupun fakta. Namun tuntutan ini sangat mengganggu rasa keadilan kita,” akunya.
Menurutnya, dirinya tidak akan mengomentari terlalu jauh apa yang menjadi pertimbangan tuntutan JPU karena itu kewenangan internal Kejaksaan sendiri.
“Namun, pelapor atau korban mempunyai hak untuk mempercayakan rasa keadilannya kepada Kejaksaan, tapi pada akhirnya rasa keadilan yang diharapkan dengan tuntutan segitu, saya kira masih jauh dari rasa keadilan,” ungkapnya.
Padly menjelaskan, pihaknya tidak dalam posisi menuduh adanya indikasi apapun dalam perkara ini. Namun, dirinya akan mempertimbangkan mengambil langkah hukum yang akan diambil kemudian. Salah satunya meminta pertimbangan perlindungan saksi dan korban, serta meminta pengawasan internal Kejaksaan terhadap perkara ini.
Sementara itu, korban penganiayaan dan pengeroyokan, AM, mengaku trauma dan takut serta merasa tidak aman. Mengingat pelaku sebelumnya sering melakukan teror terhadap dirinya dan keluarganya.
“Saya merasa tidak aman, karena orang yang kita laporkan datang melakukan pemukulan secara langsung di dalam rumah, masih melakukan teror dan mengirim preman untuk mengintimidasi. Secara psikologis saya dan keluarga sangat terganggu,” kata AM, yang merupakan warga Tanjung Selor itu.
Am sendiri sangat berharap ke depan sistem peradilan di Indonesia benar-benar bisa di tegakkan secara adil. (*)