JAKARTA, KTV – Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali komitmennya terhadap swasembada pangan dan energi. Tak hanya fokus pada padi dan jagung, pemerintah kini memberi perhatian khusus pada komoditas singkong yang peranannya semakin penting di sektor pangan dan industri.
Melalui Kementerian Pertanian, pemerintah akan menerapkan kebijakan pembatasan impor tepung tapioka guna melindungi petani lokal dan memperkuat rantai pasok singkong nasional. Sebab, singkong tak hanya dikonsumsi sebagai makanan, tetapi juga menjadi bahan baku industri pangan, pakan, hingga energi terbarukan seperti bioetanol.
Indonesia termasuk lima besar produsen singkong dunia, dengan rata-rata produksi tahunan sekitar 15,7 juta ton selama lima tahun terakhir. Namun, tren produksi menunjukkan penurunan, sementara impor justru meningkat hingga 277 ribu ton pada 2024, menandakan ketergantungan terhadap pasokan luar negeri masih tinggi.
Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan antara kebutuhan industri—yang memprioritaskan kadar pati tinggi—dan petani yang lebih mementingkan kuantitas panen. Akibatnya, banyak hasil panen lokal tidak memenuhi standar industri, sehingga lebih memilih produk impor dari Thailand dan Vietnam yang lebih konsisten.
Pemerintah mendorong kemitraan antara petani dan industri sebagai solusi jangka panjang. Contohnya, model kemitraan di Lampung yang diterapkan PT Umas Jaya, di mana petani dibina menanam varietas sesuai kebutuhan industri dengan jadwal tanam teratur. Namun, model ini masih terbatas dan perlu diperluas lewat regulasi khusus.
Petani juga kerap mengalami fluktuasi harga, jauh di bawah harga acuan Rp1.350 per kg. Untuk itu, sistem close-loop dan penetapan harga yang adil melalui kemitraan perlu diperkuat.
Ahli agronomi Prof. Sumarno menyarankan klasifikasi petani singkong menjadi dua: untuk industri dan pangan. Petani industri harus terdaftar dan mendapatkan kontrak dengan perusahaan, sedangkan industri wajib membuka informasi kebutuhan bahan bakunya.
Varietas unggul berumur pendek seperti Vamas 1 atau Ukage 3 yang bisa dipanen dalam tujuh bulan dengan produktivitas tinggi, diharapkan bisa meningkatkan efisiensi budidaya. Pemerintah didorong mempercepat penyediaan benih dan meningkatkan anggaran riset untuk mendukung transformasi sektor ini.
Diperlukan juga akses pembiayaan khusus singkong, data produksi dan konsumsi yang terintegrasi, serta modernisasi manajemen agribisnis agar produktivitas meningkat.
Larangan impor tapioka harus menjadi awal dari reformasi sistem pangan berbasis singkong yang adil dan berkelanjutan. Prinsipnya: industri tumbuh, petani untung, dan bangsa berdaulat.