GAZA, KTV — di antara debu reruntuhan, dentuman ledakan, dan jerit luka, ada suara-suara kecil yang tetap bertahan: suara anak-anak yang mencoba tumbuh di dunia yang tak pernah aman untuk mereka. Sejak agresi militer Israel yang berlangsung berbulan-bulan, ribuan anak Palestina di Gaza kehilangan tempat tinggal, kehilangan keluarga, dan kehilangan ruang aman untuk sekadar bermain atau bermimpi.
Di sepanjang jalur Gaza, ribuan tenda darurat kini berdiri menggantikan rumah yang telah rata dengan tanah. Di sinilah anak-anak Gaza menjalani masa kecil mereka. Terpal plastik, selimut tua, dan sisa-sisa bangunan menjadi saksi bisu dari kehidupan yang terpaksa berjalan. Tenda bukan hanya tempat berteduh, tapi juga menjadi ruang kelas, dapur, dan kamar tidur bagi banyak keluarga.
Tidak ada taman bermain, tidak ada suara riang di sekolah, dan tak ada jaminan keselamatan saat malam tiba. Anak-anak Gaza tumbuh dengan trauma, namun juga dengan keteguhan luar biasa. Mereka menggambar perdamaian di atas kertas yang lapuk, bermain sepak bola di antara puing-puing, dan tetap tersenyum meski dunia telah merenggut begitu banyak dari mereka.
Banyak sekolah hancur atau berubah fungsi menjadi tempat penampungan. Guru dan relawan tetap berusaha memberikan pelajaran seadanya, meski sering kali tanpa buku, tanpa listrik, dan tanpa fasilitas. Di balik segala keterbatasan, semangat untuk belajar tetap menyala. Pendidikan menjadi satu-satunya pintu keluar yang masih dipercaya mampu membawa masa depan yang lebih baik.
Anak-anak ini menggenggam pensil seperti menggenggam harapan. Di balik mata mereka yang letih, tersimpan tekad untuk bangkit, untuk kelak menjadi dokter, guru, atau pemimpin yang akan mengubah nasib bangsanya.
Selain kehilangan fisik, luka yang mereka alami bersifat psikologis dan mendalam. Banyak anak mengalami trauma berat, mimpi buruk, kecemasan berkepanjangan, bahkan depresi. Organisasi kemanusiaan terus berjuang memberikan bantuan medis dan psikologis, namun tekanan yang datang silih berganti membuat penyembuhan menjadi proses panjang.
Foto-foto dari Gaza bukan sekadar dokumentasi konflik. Ia adalah potret ketabahan. Setiap anak yang tersenyum di balik reruntuhan adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Setiap coretan gambar damai di dinding tenda adalah bentuk pernyataan bahwa mereka masih percaya pada masa depan, meski dunia seolah telah berpaling.
Gaza bukan hanya soal geopolitik. Gaza adalah cerita tentang anak-anak yang seharusnya berlarian di halaman sekolah, bukan bersembunyi di bunker. Ini adalah pengingat bagi dunia bahwa di balik statistik dan laporan perang, ada manusia—ada anak-anak—yang merindukan hidup normal.
Dunia harus mendengar mereka. Dunia harus peduli. Karena masa depan Gaza adalah bagian dari masa depan kemanusiaan kita semua.