JAKARTA, KTV – Peneliti dari OJK Institute, Sanjung Purnama Budiarjo, mengungkapkan adanya sejumlah kelemahan dalam regulasi dan praktik keuangan berkelanjutan yang bisa membuka peluang terjadinya greenwashing—yakni strategi perusahaan membangun citra ramah lingkungan secara palsu tanpa tindakan nyata.
Dalam forum Idea Talks OJK Institute Volume 8, Sanjung menjelaskan tiga faktor utama yang menjadi celah:
-
Kurangnya standardisasi aturan, baik antarnegara maupun dalam negeri, membuat perusahaan bisa memilih standar yang paling menguntungkan mereka.
-
Asimetri informasi, yaitu keterbatasan data yang akurat dan dapat diakses oleh publik serta investor untuk memverifikasi klaim berkelanjutan.
-
Keterbatasan pemahaman teknis, baik di sisi perusahaan maupun investor, terkait prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance).
Menurutnya, praktik greenwashing bisa berdampak buruk bagi perusahaan, mulai dari rusaknya reputasi, turunnya kepercayaan investor, hingga penurunan kinerja keuangan dan prospek bisnis. Di tingkat yang lebih luas, greenwashing juga merusak kredibilitas sektor keuangan berkelanjutan dan dapat menghambat pencapaian target nasional seperti NDC (Nationally Determined Contribution).
Pada 2023, tercatat 199 kasus greenwashing dalam sektor jasa keuangan global, menjadikannya industri kedua terbesar dalam praktik ini setelah sektor minyak dan gas.